Kantuk masih terasa di mataku ketika
ku dengar pintu kamar berderit. Ibu yang kelihatan lebih tua dibandingkan umur
yang sebenarnya mendekat dan duduk di samping dipanku.
“Kamu tahu siapa yang datang
pagi-pagi begini?”
Pertanyaan yang ku kira sudah tak
asing lagi. Aku diam, malah ingin melanjutkan tidur.
“Levi … kamu dengar kata Ibu?”
tanyanya lagi.
Mau tak mau ku buka mataku. “Aku tahu, Bu.”
“Kalo begitu, bagaimana?” Antusiame
Ibu membuatku gusar. Semestinya tak begini.
“Kita kan sudah memberi pinjaman lagi padanya. Mau
ngapain lagi, sih?!” aku jadi sewot plus kesal.
“Masa sih, setiap dia mau melakukan
sesuatu, yang paling repot itu kita. Apa nggak ada keluarganya yang lain yang
bias dimintai tolong…”
“Ya sudah. Kalau kamu tidak punya
uang, biar Ibu nanti kasih tahu.” Ibu kemudian beranjak meninggalkan kamarku.
Biar saja. Sesekali perlu juga
dikasih pelajaran tetangga tak tahu diri itu. Siapa suruh macam-macam. Setan!
Tukang gosip, rutukku dalam hati.
Semestinya aku tidak perlu
marah-marah begini. Tapi, terlanjur Ibu sudah menyapaku tadi. Kenapa dia mesti
repot-repot untuk berbuat baik pada orang itu. Toh, mereka tidak tahu
terimakasih. Aku kesal! Kesaaal….. sekali! Sejadi-jadinya aku berteriak hingga
kembali ibu dating ke kamarku, kali ini dengan tergopoh-gopoh.
“Ada apa Levi? Kamu mengagetkan saja pagi-pagi
begini?” Ia memandangku dengan bingung. Dan, ternyata ada seseorang yang
mengikutinya, masuk ke kamar.
Sosok yang tak ingin ku lihat. Ibu
Udam, tetanggaku.
“Iya nih, Levi. Ada apa pagi-pagi udah teriak?”
Rasa tak enak langsung menyergap
dadaku. Bu Udam sudah ada di kamarku. Penghobi gossip ini bahkan melihatku
masih awut-awutan.
“Ng… ng.. nggak ada,” jawabku
cengengesan seraya berlari ke kamar mandi.
Dasar bu Udam. Punya kesempatan juga
dia akhirnya membuatku malu –di rumahku sendiri lagi.
Tidak bias tidak, dari kamar mandi
aku masih bisa mendengar Ibu berbicara dengan bu Udam. Jelas ku dengar ibu
mulai lagi dengan keempatiannya seraya meminta bu Udam bersabar menungguku
selesai mandi.
Hatiku yang mulai mendingin oleh
siraman air kembali membara. Persetan, dia mau menunggu sampai kapan pun aku
tak sudi memberi pinjaman padanya. Biar saja dia mencari pinjaman pada
rentenir. Tahu rasa dia sekarang! Makanya jangan suka membicarakan hal-hal yang
orang lain tidak suka. Tahu sendiri akibatnya.
Satu jam lebih aku berada di kamar
mandi. Ku dengar bu Udam sudah minta permisi. Ibu menyuruhnya menunggu di
rumahnya saja karena ibu akan membawa sendiri uang itu ke rumah bu Udam. Ibu…
kenapa sih?
“Sebentar Levi. Ibu minta, tolong
kasih bu Udam pinjaman. Kasihan. Ibu mertuanya lagi sakit keras.”
“Ibu tahu sendiri, simpanan saya
tinggal berapa?” tolakku halus.
“Ya seadanya saja dikasih. Ibu sudah
kadung janji sama dia.”
Tak tega juga rasanya ku tolak
permintaan ibu. Meski tak suka, berat hati ku keluarkan uang simpanan yang
diminta Ibu.
“Suatu saat, kita juga pasti butuh
bantuannya. Kan
malu juga jika nanti kita butuh bantuannya terus sekarang kita tidak mau
bantuin?”
Ibu… gaya bicaranya kepadaku tak jua berubah.
Seperti berbicara pada anak kecil yang masih bimbingan total.
Aku kesal pada bu Udam. Sekali ini
–lagi-lagi aku merasa malu padanya. Ibu…? Bahkan berpihak padanya. Huh…
tetangga rese.
Awas saja kalau dia bicara
macam-macam lagi tentangku –seperti yang ia lakukan beberapa waktu yang lalu-
akan ku ceritakan pada orang banyak tentang hutangnya padaku. Ini pasti akan
menjadi gossip favorit di seantero lingkungan sekitar terutama di antara
ibu-ibu yang datang membeli nasi setiap pagi pada Ibu. Dan bu Udam akan marah
dan protes padaku. Dengan alasan seperti itulah akan ku habisi ia dengan
kata-kata pedas yang tak ia sangka-sangka.
Hingga Ibu balik dari pasar –membeli
bahan dagangan- ternyata aku masih mematung di depan kaca. Kacau! Pikiranku penuh
dengan Bu Udam beberapa saat tadi.
“Levi… kamu belum selesai ganti baju
juga?” Lagi-lagi Ibu bingung dengan tingkahku.
Aku diam, sedikit cemberut. Badanku
terasa kering karena belum sempat ku pakaikan body lotion. Gara-gara bu Udam
ni…. Bu Udam lagi Bu Udam lagi. Hhh…
“Ibu tahu apa yang membuat kamu
kesal pada bu Udam,” kata Ibu tiba-tiba.
“Oh ya? Lalu kenapa Ibu tidak
mendukung saya. Malah minjemin duit ke bu Udam?”
“Dia tetangga kita. Saat ini dia
butuh sekali bantuan untuk keperluan biaya mertuanya yang sedang sakit.”
“Dia kan punya keluarga banyak. Mereka bisa
dimintai tolong juga kan, Bu. Kok kita yang tidak ada hubungan
keluarga yang dibikin repot dengan kesusahannya.”
“Levi… keadaan keluarganya juga tak
jauh beda dengan bu Udam. Kamu tahu sendiri kan? Nah, kewajiban kitalah yang kemudian
menggantikan keluarganya.”
“Ya baiklah. Ibu selalu benar. Tapi
aku tetap nggak suka dengan bualannya kemarin,” kataku masih mengingatkan Ibu.
“Kalau kamu merasa tidak melakukan
apa yang ia katakana, tak usah merasa resah. Besok-besok dia mungkin akan
menyadari kesalahannya.”
Ibu makin bisa aja membalas
perkataanku. Aku memilih keluar kamar dan terkejut bukan main. Di depan
kamarku, mungkin sedari tadi ia sudah berdiri dan mendengar pembicaraanku
dengan Ibu. Sejak kapan ia masuk ke rumah kami dan yang paling meresahkan
adalah raut wajahnya yang tanpa ekspresi. Tak kuat ku tatap ia, buru-buru aku
melenggang pergi. Biarlah, Bu Udam mungkin saatnya dikasih shock therapy.