Jumat, 10 Februari 2012

TETANGGA R E S E

            Kantuk masih terasa di mataku ketika ku dengar pintu kamar berderit. Ibu yang kelihatan lebih tua dibandingkan umur yang sebenarnya mendekat dan duduk di samping dipanku.
            “Kamu tahu siapa yang datang pagi-pagi begini?”
            Pertanyaan yang ku kira sudah tak asing lagi. Aku diam, malah ingin melanjutkan tidur.
            “Levi … kamu dengar kata Ibu?” tanyanya lagi.
            Mau tak mau ku buka mataku.  “Aku tahu, Bu.”
            “Kalo begitu, bagaimana?” Antusiame Ibu membuatku gusar. Semestinya tak begini.
            “Kita kan sudah memberi pinjaman lagi padanya. Mau ngapain lagi, sih?!” aku jadi sewot plus kesal.
            “Masa sih, setiap dia mau melakukan sesuatu, yang paling repot itu kita. Apa nggak ada keluarganya yang lain yang bias dimintai tolong…”
            “Ya sudah. Kalau kamu tidak punya uang, biar Ibu nanti kasih tahu.” Ibu kemudian beranjak meninggalkan kamarku.
            Biar saja. Sesekali perlu juga dikasih pelajaran tetangga tak tahu diri itu. Siapa suruh macam-macam. Setan! Tukang gosip, rutukku dalam hati.
            Semestinya aku tidak perlu marah-marah begini. Tapi, terlanjur Ibu sudah menyapaku tadi. Kenapa dia mesti repot-repot untuk berbuat baik pada orang itu. Toh, mereka tidak tahu terimakasih. Aku kesal! Kesaaal….. sekali! Sejadi-jadinya aku berteriak hingga kembali ibu dating ke kamarku, kali ini dengan tergopoh-gopoh.
            “Ada apa Levi? Kamu mengagetkan saja pagi-pagi begini?” Ia memandangku dengan bingung. Dan, ternyata ada seseorang yang mengikutinya, masuk ke kamar.
            Sosok yang tak ingin ku lihat. Ibu Udam, tetanggaku.
            “Iya nih, Levi. Ada apa pagi-pagi udah teriak?”
            Rasa tak enak langsung menyergap dadaku. Bu Udam sudah ada di kamarku. Penghobi gossip ini bahkan melihatku masih awut-awutan.
            “Ng… ng.. nggak ada,” jawabku cengengesan seraya berlari ke kamar mandi.
            Dasar bu Udam. Punya kesempatan juga dia akhirnya membuatku malu –di rumahku sendiri lagi.
            Tidak bias tidak, dari kamar mandi aku masih bisa mendengar Ibu berbicara dengan bu Udam. Jelas ku dengar ibu mulai lagi dengan keempatiannya seraya meminta bu Udam bersabar menungguku selesai mandi.
            Hatiku yang mulai mendingin oleh siraman air kembali membara. Persetan, dia mau menunggu sampai kapan pun aku tak sudi memberi pinjaman padanya. Biar saja dia mencari pinjaman pada rentenir. Tahu rasa dia sekarang! Makanya jangan suka membicarakan hal-hal yang orang lain tidak suka. Tahu sendiri akibatnya.
            Satu jam lebih aku berada di kamar mandi. Ku dengar bu Udam sudah minta permisi. Ibu menyuruhnya menunggu di rumahnya saja karena ibu akan membawa sendiri uang itu ke rumah bu Udam. Ibu… kenapa sih?
            “Sebentar Levi. Ibu minta, tolong kasih bu Udam pinjaman. Kasihan. Ibu mertuanya lagi sakit keras.”
            “Ibu tahu sendiri, simpanan saya tinggal berapa?” tolakku halus.
            “Ya seadanya saja dikasih. Ibu sudah kadung janji sama dia.”
            Tak tega juga rasanya ku tolak permintaan ibu. Meski tak suka, berat hati ku keluarkan uang simpanan yang diminta Ibu.
            “Suatu saat, kita juga pasti butuh bantuannya. Kan malu juga jika nanti kita butuh bantuannya terus sekarang kita tidak mau bantuin?”
            Ibu… gaya bicaranya kepadaku tak jua berubah. Seperti berbicara pada anak kecil yang masih bimbingan total.
            Aku kesal pada bu Udam. Sekali ini –lagi-lagi aku merasa malu padanya. Ibu…? Bahkan berpihak padanya. Huh… tetangga rese.
            Awas saja kalau dia bicara macam-macam lagi tentangku –seperti yang ia lakukan beberapa waktu yang lalu- akan ku ceritakan pada orang banyak tentang hutangnya padaku. Ini pasti akan menjadi gossip favorit di seantero lingkungan sekitar terutama di antara ibu-ibu yang datang membeli nasi setiap pagi pada Ibu. Dan bu Udam akan marah dan protes padaku. Dengan alasan seperti itulah akan ku habisi ia dengan kata-kata pedas yang tak ia sangka-sangka.
            Hingga Ibu balik dari pasar –membeli bahan dagangan- ternyata aku masih mematung di depan kaca. Kacau! Pikiranku penuh dengan Bu Udam beberapa saat tadi.
            “Levi… kamu belum selesai ganti baju juga?” Lagi-lagi Ibu bingung dengan tingkahku.
            Aku diam, sedikit cemberut. Badanku terasa kering karena belum sempat ku pakaikan body lotion. Gara-gara bu Udam ni…. Bu Udam lagi Bu Udam lagi. Hhh…
            “Ibu tahu apa yang membuat kamu kesal pada bu Udam,” kata Ibu tiba-tiba.
            “Oh ya? Lalu kenapa Ibu tidak mendukung saya. Malah minjemin duit ke bu Udam?”
            “Dia tetangga kita. Saat ini dia butuh sekali bantuan untuk keperluan biaya mertuanya yang sedang sakit.”
            “Dia kan punya keluarga banyak. Mereka bisa dimintai  tolong juga kan, Bu. Kok kita yang tidak ada hubungan keluarga yang dibikin repot dengan kesusahannya.”
            “Levi… keadaan keluarganya juga tak jauh beda dengan bu Udam. Kamu tahu sendiri kan? Nah, kewajiban kitalah yang kemudian menggantikan keluarganya.”
            “Ya baiklah. Ibu selalu benar. Tapi aku tetap nggak suka dengan bualannya kemarin,” kataku masih mengingatkan Ibu.
            “Kalau kamu merasa tidak melakukan apa yang ia katakana, tak usah merasa resah. Besok-besok dia mungkin akan menyadari kesalahannya.”
            Ibu makin bisa aja membalas perkataanku. Aku memilih keluar kamar dan terkejut bukan main. Di depan kamarku, mungkin sedari tadi ia sudah berdiri dan mendengar pembicaraanku dengan Ibu. Sejak kapan ia masuk ke rumah kami dan yang paling meresahkan adalah raut wajahnya yang tanpa ekspresi. Tak kuat ku tatap ia, buru-buru aku melenggang pergi. Biarlah, Bu Udam mungkin saatnya dikasih shock therapy.

MENAGIH U T A N G


        Kurang lebih sekitar pertengahan bulan Oktober 2011 kemarin, Kak Uyok dengan rasa segan tapi sangat ingin meminjam uang padaku sebesar 500 ribu –awalnya dia bilang pinjam 300 ribu tapi kemudian meralat dengan 500 ribu setelah ia melihat uang yang ku pegang saat itu cukup banyak. Aku pun memberinya pinjaman karena kasihan melihatnya.
Aku bertemu dengan dia di dealer MPM Motor Pancor ketika aku hendak membeli motor Spacy. Aku memilih dealer ini karena aku tahu ia bekerja di sana. Hitung-hitung membantu saudara –karena yang ku tahu berhasil menjual sepeda motor apalagi penjualan cash sang sales akan mendapat bonus- pikirku saat itu, tanpa berpikir bahwa ia akan meminjam uang padaku.  Yaa… daripada aku menghubungi orang lain, kan lebih baik lewat saudara aja. Bukankah Allah SWT juga menganjurkan kita untuk mendahulukan keluarga yang membutuhkan pertolongan dulu untuk dibantu sebelum kita menolong orang yang lain?
Kak Uyok berjanji akan membayar ku ketika waktu gajiannya tiba. Aku percaya saja karena tinggal dua minggu lagi (mungkin) ia akan gajian. Ku tunggu dengan sabar, tak ada kabar darinya. Aku hampir setiap hari lewat di depan rumahnya tapi tak pernah masuk untuk menagih. Ia pernah bilang untuk tidak bilang siapa-siapa perihal ia meminjam uang padaku ini. Katanya, ia malu jika orang lain tahu ia pinjam uang. Apalagi, suaminya adalah orang yang sangat ia hindari untuk tahu masalah ini. Suaminya keberatan jika tahu Kak Uyok meminjam uang. Mungkin suaminya merasa uang hasil kerjanya selama ini cukup untuk kebutuhan mereka. Yang jelas, aku tidak tahu uang itu Kak Uyok pakai untuk apa? Aku merasa tidak berkewajiban untuk menanyakan.
Ok, kataku. Mungkin dengan kesepakatan ini ia akan segera mengembalikan uangku, pikirku. Sebulan berlalu, ia masih belum menepati perkataannya. Aku mulai gelisah karena uang yang ku pinjamkan  itu sebenarnya bukan uangku. Itu uang Bibiku yang ku pakai untuk membayar motor. Aku khawatir ia lupa dengan pinjaman uang ini dan tak mengembalikannya.
Ku SMS ia dengan sedikit segan. Kecil harapanku ia akan merespon dengan mengatakan bahwa ia akan ke rumah dan memberiku uang itu. Dan perkiraanku tidak meleset. Ia bilang akan segera membayar hutang. Segera…!? Tapi tak tahu segera itu kapan. Karena hingga bulan ke tiga ia meminjam belum juga ia memberi kepastian.
Ada niat dalam hatiku untuk memberitahunya bahwa aku akan bilang saja pada suaminya bahwa ia berhutang 500 ribu padaku. Dengan begitu ia akan termotivasi untuk segera membayar hutang. Tapi aku tak sanggup melakukannya. Aku kasihan jika mereka akan bertengkar. Aku tidak mau orang lain bertengkar karena perbuatannya. Meski sedikit sumpek aku menunggu hingga kini agar ia segera membayar hutangnya. Semoga Allah memberinya pertolongan untuk membaya hutang padaku.
Kata orang sabar dulu baru marah. Kira-kira begitulah aku beberapa hari yang lalu. Keinginanku begitu kuat untuk datang ke rumah Kak Uyok saja agar keluarganya tahu. Dengan begitu semua masalah akan beres. Ku cari waktu yang tepat hingga, Bibi Fiah memberi tahu tentang kematian Ibu Kak Uyok. Katanya, ibunya meninggal tadi malam. Ibunya memang sudah lama menderita sakit dan tak kunjung sembuh. Dan sebagai anak yang tinggal bersamanya, Kak Uyok lah yang menanggung biaya hidup ibunya selama ini. Dalam hati aku berpikir, untung saja aku belum datang ke rumahnya dan berbuat kebodohan. Kalo tidak aku pasti akan sangat menyesal dengan perbuatanku.
Karenanya sekarang, aku berpikir untuk menunggu saja, kapan Kak Uyok sanggup membayar uang itu. Semoga Allah menolong kami untuk  mendapat penyelesaian yang terbaik bagi kami Dunia dan akhirat. AMIN YA ROBBAL ‘AALAMIIN.


YANG KEDUA
Semakin aku memohon kepada Alloh SWT agar aku dapat melupakan Kak Khairul, semakin kuat pikiranku penuh olehnya. Aku tidak bisa, terus menghabiskan waktuku untuk memikirkannya. Ada banyak hal yang seharusnya aku lakukan untuk hidupku agar lebih berguna. Bertahun—tahun kemarin aku sudah menyiakan waktuku begitu saja dengan penuh harapan bahwa apa yang ada dalam hatiku sama dengan keinginannya.
Hingga aku sadar bahwa tak ada tempat berharap yang terbaik selain daripada Allah SWT. Aku salah menjalani hidupku. Tak berpikir seperti orang-orang yang dulu aku tertawakan karena menganggap mereka tak punya kesenangan dalam hidup. Tetapi, menjalani hidup yang sangat membosankan.
Ku akui aku salah menilai kehidupan. Kehidupan yang dipenuhi oleh kesenangan diri sendiri telah membuaiku untuk melupakan hal indah yang dialami orang-orang ‘membosankan’ tadi. Mereka kini hidup senang, lurus dalam kebahagiaan mereka yang mereka dapatkan –kelihatan- dengan mudah. Mungkin…? Aku tak tahu itu. Suatu saat aku ingin bertanya pada mereka.
       Awal mulanya aku hanya merasa kasihan dan merasa bersalah saja pada Kak Khairul hingga aku berusaha keras untuk bisa dimaafkan. Aku begitu bersikap keras padanya padahal ia hanya mengutarakan perasaannya padaku. Ku anggap itu sangat mengganggu. Aku sama sekali tidak berpikir bahwa inilah awal mula kebahagiaan yang orang-orang ‘membosankan’ itu jalani dan kemudian mereka perlakukan sangat baik. Aku tak tahu tentang hal itu atau tak terlalu mementingkannya? Aku tak tahu.
          Ternyata ia tipe lelaki yang sulit melupakan kesalahan orang lain sekaligus sulit untuk memaafkan. Semakin ia kemudian mempermainkan tekadku dengan dalih aku begitu jahat padanya. Dan aku pun terpengaruh benar dengannya. Jadilah aku ingin mendekat padanya dan ingin mengikuti kemauannya.
Hingga tiga tahun berikutnya ternyata ia masih juga menyebut-nyebut kesalahanku. Ya Allah. Kenapa orang ini, pikirku? Tak adakah hatinya membaik padaku setelah berulang kali aku minta maaf padanya. Tak jugakah ia terenyuh dengan perlakuanku padanya. Ataukah aku yang buta dan awam dengan perilakunya sedari dulu. Ya Rahmaan. Ya Rahiim.
Dengan menguatkan diri aku kini akan berusaha melupakannya. Jika keadaannya tetap demikian mungkin inilah yang Allah kehendaki. Tak dapat ditolak tak dapat disangkal. Sebaiknya ku terima ini dengan mendekatkan diri kembali pada-Nya. Tak ada tempat untukku setelah kekacauan hati yang menghanyutkan hidupku ke dalam alam khayalan yang tak terwujud.
Tak bisa lagi aku melakukan hal itu karena aku sudah melakukan apa yang harusnya ku lakukan. Ku serahkan pada Tuhanku. Yang Maha Memberi Kemenangan. Semoga aku termasuk orang-orang yang diberi kemenangan dunia akhirat oleh-Nya. Selamat tinggal Dianku yang malang dan tertipu. Selamat tinggal Dianku yang naïf. Selamat tinggal semua yang mendukungku kemarin. Maaf aku tak bisa lagi bersama kalian.

Selasa, 17 Januari 2012


BAB KEDUA
          “Maaf kita tidak bisa bicara di dalam,” tolak Yupi ketika suatu siang Sinan datang berkunjung ke rumahnya. Ia mempersilahkan Sinan untuk duduk di berugak sehingga jelas terlihat dari jalan raya di depan rumahnya.
          Sinan tak mengeluh meskipun diperlakukan demikian. Yupi tidak berubah, katanya dalam hati.
          Berdua mereka kemudian duduk menepi di berugak. Yupi duduk terlihat menjauh dari tempat Sinan. Masing-masing di ujung berugak. Suasana sempat sepi hingga Yupi membuka mulut terlebih dahulu.
          “Kak Sinan tahu rumah saya dari mana?”
          “Tadi nanya-nanya di warung sebelah. Sebenarnya tadi aku baru balik dari  Pringgabaya. Ingat kamu pernah kasih tahu rumah kamu di Rasbani, jadinya aku mampir.”
          Yupi diam. Sinan tetap seperti dulu. Berbelit-belit. Banyak alasan!
          “Rumah ini sejuk sekali, Pi. Tapi kok sepi?”
          “Kak Sinan tinggal di mana sekarang?” Basa-basi yang membosankan. Lambat dan menghabiskan banyak waktu.
          “Aku sekarang tinggal di Pringgabaya…”
          Yupi cuma mengangguk.
          “Tinggal di sini dengan siapa, Pi. Kok sepi sekali? Suamimu mana?”
          “Lebih tenang kalo sepi. Saya lebih suka suasanannya seperti ini.”
          “Kamu memang tidak berubah, Pi. Lebih suka sendiri dan tidak mau bergaul dengan orang lain,” balas Sinan.
          “Bukannya nggak mau. Tapi ada begitu banyak hal dalam diriku yang membatasiku untuk tidak bergaul dengan orang lain. Aku bergaul kok dengan orang lain, tapi tidak dengan semua orang. Takutnya aku nanti nggak bisa sama seperti orang itu. Aku nggak bisa menerima beberapa hal yang sebenarnya mungkin sepele untuk orang lain tapi buatku itu mengganggu. Yah mungkin, dulu pas kuliah aku tidak bergaul dengan teman-teman hanya beberapa orang saja. Memang aku rasa sendiri juga aneh tapi aku lebih nggak bisa berteman dengan orang yang membuatku tak nyaman. Kak Sinan masih ingat dengan Wiwik, Eliza, Ice atau yang lainnya? Aduh,ampun deh. Awalnya aku berusaha membaur dengan mereka tapi aku nggak tahan dengan bau mulut mereka yang mengganggu sekali. Atau sakit pilek mereka yang terlalu sering. Aku nggak bisa bergaul dengan terpaksa begitu. Makanya aku lebih suka bergaul dengan Ros, Nursa. Kelompok yang diremehkanlah sama kelompoknya Eliza. Aku lebih suka gabung dengan mereka karena meski dari penampilan sederhana tapi mereka menjaga kebersihan. Atau coba lihat si Ina. Ia kan sering berlagak jadi anak keren tapi pas pagi sering kali matanya aduh…. Dihiasi oleh kerak sisa tidur tadi malam. Malu banget deh…!”
          “Pi…” Sinan takjub mendengar Yupi bicara sebanyak ini. Ada hal yang belum ia tahu dari Yupi yang sebenarnya. Ia mengira Yupi diam, tak tahu apa-apa bahkan terkesan kuper. Ternyata…
          Yupi yang banyak bicara barusan menyadari sikapnya. Ada rasa malu menyelimuti hatinya karena memperlihatkan sisi buruknya pada Sinan. Terlebih lagi mereka sudah lama tidak bertemu. “Maaf,” ujarnya malu sekali.
          “Suamimu mana, Pi. Kok belum kelihatan dari tadi?”
          Yupi terdiam. Ia makin tak nyaman dengan Sinan. “Maaf anak-anak saya sebentar lagi pulang kursus. Saya mau menjemput mereka.”
          “Nggak suka aku ke sini?” Sinan ikut-ikutan sedikit sewot.
          Hhh… dasar. Orang ini memang tidak bisa diperlakukan baik.
          “Maaf Kak Sinan… anak-anak saya pasti sudah menunggu saya. Saya harus menjemput mereka.” Yupi bangkit, menunggu Sinan juga ikut pergi.
          Sinan tersenyum masam. Ia merasa Yupi sengaja mengusrinya. Ia merasa terluka. “Aku nggak pernah ngerti dengan pikiran kamu, Yupi.”
          Yupi tak peduli. Rasa sakit hatinya yang telah hilang tiba-tiba kembali membara. Ia sangat marah dengan Sinan terlebih lalgi dengan sikapnya sekarang.
          “Hhh… tolong saya harus pergi sekarang,” pintanya lagi.
          “Dan jangan datang ke sini lagi,” tambahnya di balik punggung Sinan yang bergerak dengan langkah berat.
          Sinan memandangnya agak lama, tak percaya Yupi marah padanya.
         

SINAN


BAB SATU
          Tak terasa sudah enam tahun berlalu Sinan sekeluarga tinggal di desa  Sekek, Kecamatan Pringgabaya Lombok Timur. Berpisah dengan sanak keluarganya di desa kelahirannya, Desa Pejanggik, berpuluh-puluh kilometer dari tempat tinggalnya saat ini. Sinan adalah seorang guru negeri yang mengajar di SDN 1 Pringgabaya. Ia adalah salah satu orang yang berhasil lulus ujian CPNS yang diadakan pemerintah kabupaten lombok timur. Waktu itu Lombok Timur (Lotim) membutuhkan banyak tenaga guru untuk meningkatkan kualitas pendidikan di daerah itu.
          Setelah diterima bekerja sebagai guru negeri, Sinan segera menikah. Kini enam tahun berlalu ia sudah dikaruniai seorang anak laki-laki. Istrinya bernama Kurni, seroang pegawai negeri di kantor camat Pringgabaya. Pasangan suami istri yang ideal dari segi kemapanan ekonomi. Menurut pandangan umum masyara
          Pagi ini, Sinan dan istrinya tidak pergi bekerja sebagaimana biasa. Mereka sedang berada di rumah sakit Dr. Soedjono Selong –rumah sakit milik pemkab Lotim- untuk menunggu Quary, anak semata wayang mereka. Quary diopname sejak dua hari yang lalu karena terkena typus. Sinan sangat khawatir karena panas Quary tak juga turun. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, ia meminta cuti selama Quary berada di rumah sakit. Untunglah, kepala sekolah mengizinkannya. Begitu juga dengan istrinya, ia ikut-ikutan cuti dari kantor untuk menjaga anaknya.
          Berat sekali jika memilih bekerja sambil menunggu Quary. Bolak-balik Pringgabaya- Selong tidak memungkinkan untuknya. Apalagi dengan istrinya. Yah, ini adalah pilihan berat. Tapi, apa boleh buat.
          “Pak, tadi ada resep yang harus kita tebus. Sebaiknya Bapak pergi sekarang, biar Quary cepat membaik,” saran Kurni ketika melihat Sinan duduk melamun di bangku yang ada di depan kamar tempat Quary menginap.
          “Yah, baiklah,” katanya menurut.
          Ia langsung pergi begitu menerima secarik kertas dari tangan Kurni. Ia tidak bingung dengan  uang untuk biaya pengobatan. Toh ia mempunyai gaji besar dari penghasilannya sebagai guru negeri begitu pula dengan gaji istrinya. Masalah uang bukan yang utama bagi mereka. Quary kembali sehat adalah keinginan mereka saat ini melebihi apapun.
          Apotik yang ia tuju sedang sepi. Untunglah, katanya dalam hati.
          “Berapa, Mas,” tanya Sinan begitu apoteker di depannya menyodorkan bungkusan obat yang ia pesan.
          “Empat ratus ribu enam puluh lima ratus rupiah,” jawab sang apoteker.
          Dari dompetnya, Sinan menarik uang lima lembar uang seratus ribu lalu memberikannya pada apoteker. Ditunggunya sang apoteker mencari kembaliannya sambil duduk di bangku panjang ketika matanya melihat seseorang yang ia kenal- beberapa tahun yang lalu.
          Seorang perempuan berpakaian sederhana masuk sambil menggendong seorang bayi yang tertidur.
          “SGM nya ada, Mas?” tanya perempuan itu begitu mendekat di meja apoteker.
          “Ukuran apa, Bu?”
          “Yang tanggung saja,” kata perempuan itu lagi. Ia belum menatap Sinan hingga Sinan tidak berani memastikan perkiraannya.
          Kesempatan yang tidak diduga Sinan ada ketika ia bangun untuk mengambil kembalian uangnya. Ia melihat jelas dan merasa tidak mungkin ia salah kira.
          “Yupi…?”
          Perempuan yann disapa itu menoleh meskipun sudah akan pergi meninggalkan apotek. Raut wajahnya terlihat kaget dan memerah.
          “Lho… kak Sinan? Kok bisa ada di sini?” tanyanya terdengar grogi. Sebenarnya ia ingin pergi dari tempat ini.
          “Anakku sedang sakit. Yupi sendiri rumahnya di mana sampai beli susu di apotek ini?” Anak di gendongan Yupi ini tidak mirip dengan ibunya.
          “Saya tinggal di Rasbani,” jawab Yupi. Ia ingin sekali segera pergi tapi takut Sinan tersinggung. Masak teman lama baru berjumpa kok langsung mau pergi.
“Ooo. Ini anak yang paling besar?” tanya Sinan tak tahan dengan penasarannya dengan bayi dalam gendongan Yupi.
“Ooo, bukan. Ini anak tetangga saya yang nitip tadi pagi. Tapi saya bawa aja ke sini karena tidak ada orang di rumah yang ngawasi sekalian saya beliin susu. Ibunya tadi lupa ninggalin susu anaknya di rumah.”
“Ooo…,” kata Sinan ber ooo lagi. Secara fisik, Yupi masih sama seperti dulu. Senyumnya yang tidak bisa dilupakan Sinan bahkan masih ada sampai sekarang. Dan sekarang Yupi bertingkah tenang tidak grogi lagi seperti tadi. Tidak ada sikap reaktif seperti dulu ia mengenalnya.
“Maaf, ya. Kalo saya harus pergi duluan. Rumah sepi, nanti anak-anak saya kasihan kalo pulang sekolah.”
Anak-anak. Berapa anak Yupi sekarang? Ia ingin bertanya tapi tidak mungkin. Yupi sudah berada di seberang menunggu angkot tiba  untuk pulang ke rumahnya.
Ahh… tanpa pikir panjang lagi, Sinan berencana mengikuti ke mana Yupi pergi. Ia ingin tahu di mana Yupi sekarang tinggal, bagaimana kehidupannya.depannya.
*******
          “Kakak ke mana saja? Quary sudah telat waktunya untuk minum obat.”
          Sinan diam. Ia mengerti kegusaran Kurni. Ia menyerahkan kantong obat dan kemudian duduk di bangku depan kamar Quary.
          Rumah Yupi terlihat sejuk dengan deretan beberapa pohon buah di halamannya. Tapi rumah itu terlihat sepi. Tak ada orang lain lagi yang terlihat selain Yupi dan kedua orang anak kecil yang kemudian memanggilnya ibu. Suaminya belum terlihat. Sinan menunggu lama sebelum kembali ke rumah sakit. Ia ingat, Quary belum meminum obatnya.
          “Tidak enak badan?” tanya Kurni, tangannya menyentuh bahu Sinan. Karena Sinan menggeleng, ia kembali masuk menemani Quary. Tak biasanya kak Sinan seperti ini, aneh. Apakah musibah yang menimpa kami ini membuatnya semakin tak semangat? Ya Allah, ada apa ini? Tangannya menepuk punggung Quary yang sedang tertidur.
          Meski baru enam tahun menikah, Kurni sudah mulai mengenal pribadi Sinan. Ia bisa merasakan  saat Sinan bahagia, saat mengelak dari suatu hal, saat berusaha menyembunyikan sesuatu. Ia telah belajar mengenal diri Sinan semenjak Sinan memutuskan menikah dengannya dan membiarkan begitu saja Yupi, kekasihnya merana. Itu yang Kurni belum puas mendengar alasan Sinan. Sinan memberinya jawaban ambigu. Seiring waktu ia tidak mempermasalahkannya. Yang penting Sinan kini telah menikah dengannya.
          Keberuntungan besar Sinan mengajaknya menikah.  Tak diduga dan tak ada pemberitahuan terlebih dahulu. Ia tahu Sinan sudah punya kekasih. Yupi namanya, anak Lombok Timur. Hubungan mereka sering membuatnya iri karena betapa manisnya kedua orang membawa diri. Yupi gadis yang menarik dengan pembawaannya yang riang. Sinan yang berwibawa dengan sikap santunnya. Rasanya tidak mungkin ketika tiba-tiba Sinan mengajaknya menikah di pagi hari bulan syawal itu. Ia kaget namun tak menolak. Ia mengenal Sinan sebatas sebagai tetangga saja. Tak lebih.
          Bulan lebaran yang paling indah sepanjang umurnya. Terlebih ketika itu ia dinyatakan lulus tes CPNS. Sinan terlalu jauh untuk ia rindukan sebagai seorang kekasih apalagi menjadi suaminya. Tapi takdir berkata lain. Sinan yang misterius melamarnya di hadapan keluarganya. Siapa yang akan menolak kalau begitu.
          “Aku ingin menikah dengan perempuan yang tepat,” jawab Sinan ketika Kurni menanyakan alasannya.
Kurni tak bertanya lebih lanjut lagi. Pertanyaan-pertanyaan lainnya ia sembunyikan saja dalam hati tak ingin membuat Sinan tak nyama. Baru saja mereka hendak bersama bisa rusak jika tak dijaga baik-baik.
Akhirnya pernikahan itu terjadi. Pernikahan yang meriah kata teman-temannya. Ia pun berpendapat demikian. Senyum yang terus mengembang, mengalir mengiringi tetamu yang datang seperti angin sepoi yang sejuk. Oh Sinan. Suami idaman banyak gadis di desa Pejanggik. Tak banyak perubahan pada Sinan setelah menikah. Ia tetap tak banyak bicara, misterius bagi Kurni - karena tak banyak bicara tentang isi hatinya, padahal mereka pengantin baru. Tapi Kurni ingin memberi waktu pada Sinan untuk berubah atau… mungkin tidak sama sekali bagi Sinan. Ia sepertinya tipe orang yang konservatif sekaligus introvert. Apakah begini sikapnya pada Yupi juga?
Mau tak mau ingatan Kurni beralih pada Yupi. Ia beberapa kali melihat gadis itu ketika berkunjung ke rumah Sinan. Ia sering merasa malu ketika berpapasan dengan Yupi. Yupi yang banyak tersenyum pada orang yang menyapanya membuatnya merasa minder karena ia tak bisa seperti itu. Meski berkunjung hanya ketika ada acara di rumah keluarga Sinan , namun Yupi sudah dikenal baik oleh keluarga besar Sinan. Mereka pun terang-terangan menyukai keberadaan Yupi sebagai calon menantu. Hingga takdir berkata lain. Mau tak mau mereka harus menerima keberadaannya sebagai istri Sinan. Ia memaklumi tingkah kaget keluarga Sinan waktu itu. Seiring waktu semua berjalan seperti yang diharapkan. Apalagi ia seorang PNS, mau apa lagi yang dicari dari seorang menantu. Kurni mendapat banyak pertolongan dengan pekerjaannya ini. Keluarga Sinan akhirnya mengerti dengan keputusan Sinan yang mendadak. Mereka mendukung Sinan karena memutuskan hal yang benar.

Jumat, 30 Desember 2011

TENTANG DYLISTI

seseorang yang sampai saat ini masih belajar tentang kehidupan untuk menjadi lebih baik, lebih berguna, lebih bersimpati dengan sekitar.
ingin melakukan banyak hal selama hidup di dunia meski mungkin tidak semuanya bisa dilakukan. 
senang berdiskusi tentang banyak hal dan ingin terus memperbaiki diri untuk selanjutnya